Salam,,
Alhamdulillah...alhamdulillah...alhamdulillah....
Yuk
sebelum dimulai, jangan pernah berhenti mengiringi segala aktivitas
kita dengan senantiasa bersyukur dan memuji asma Allah. Walaupun hanya
sebatas lisan, satu kalimat syukur bisa memancarkan efek positif lho,
buat hari kita...^^
Mmmm...tentang
topik kali ini, jujur saja disponsori oleh segala pengalaman dan sepak
terjang saya sebagai 'tulang rusuk' seseorang terhitung sejak tanggal 5
Januari 2013 lalu. Bisa dibilang masih sangat mudaaa banget usia
kebersamaan ini. Tapi biarpun baru seumur jagung, saya merasa sudah
banyak sekali pelajaran dan hikmah yang saya dapat, khususnya dari sudut
pandang sebagai wanita.
Wahai
saudariku, bagi seorang muslimah, menikah ibarat separuh dari titian
jembatan hidup yang kita lalui dan sangat berbeda dengan titian
sebelumnya. Jika sebelumnya jembatan yang kita lalui hanyalah
papan-papan kayu yang tersusun di atas tali dimana keseimbangan dan
keselamatan benar-benar bergantung seutuhnya pada langkah yang kita
ambil, maka menikah adalah sisa titian jembatan yang di kanan kirinya
tersusun pegangan kokoh untuk memudahkan langkah, lalu di atasnya
dilengkapi dengan anyaman daun untuk melindungi dari segala gangguan
panas dan hujan. Masya Allah...begitulah yang saya rasakan semenjak
memasuki kehidupan baru ini. Nyaman dan teduh...
Bagi
seorang wanita, menikah merupakan sebuah perlindungan karena menjauhkan
diri dari segala fitnah. Dan yang lebih indah dari sebuah pernikahan
bagi kita, bahwa dari sanalah mulai dibukanya pintu pahala
sebesar-besarnya bagi wanita ketika ia bisa memenuhi kewajiban sebagai
istri dan ibu sesuai dengan ajaran Islam. Hal-hal sederhana seperti
memasak dan merapikan rumah pun bisa dicatat sebagai pahala jihad ketika
kita menjadi seorang istri. Apalagi ketika dengan senang hati memijat
suami saat beliau lelah dan menjaga diri serta kehormatan saat suami tak
ada di rumah, semua keutamaannya tersurat jelas dalam hadist-hadist.
Subhanallah...jadi siapakah yang tak ingin segera menggenapkan separuh
dien ini?
Ups,
tapi pelan-pelan saudariku, sesuatu yang terburu-buru juga kurang baik.
Bagi kita terutama sebagai wanita, ada beberapa hal yang perlu
dimatangkan sebelum memutuskan untuk melangkah ke jembatan ini. Pertama,
sudah jelas dan telah banyak dibahas, ilmu adalah modal utama bagi
seorang muslimah sebelum menikah. Sebagaimana yang pernah saya sampaikan
lewat media sosial, bahwa tidak ada alasan sama sekali bagi seorang
wanita untuk tidak menuntut ilmu. Memang, seutama-utamanya wanita adalah
berada di rumah, tapi bukan berarti ia mengabaikan pendidikannya.
Justru malah di sanalah seorang wanita membutuhkan bekal yang lengkap
ketika ia terjun seutuhnya sebagai ibu rumah tangga. Ilmu agama, ilmu
tentang pernikahan, ilmu tentang menjadi istri sholihah, ilmu mengelola
keuangan rumah tangga, ilmu merawat dan mendidik anak, ilmu tentang
memasak, menata rumah, dan maaasih banyak lagi ilmu-ilmu yang
diperlukan. Berbeda ketika ia memilih menjadi wanita karier. Bisa jadi
ia jenius luar biasa dalam bidang akuntansi, tapi ilmu tentang menata
rumah, memasak, merawat anak dengan baik, semuanya diserahkan pada
asisten rumah tangga. Jadi sebenarnya, siapakah yang lebih berilmu??
Yang
kedua, yaitu tentang kepantasan diri. Kenapa perlu memantaskan diri?
"Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, begitupun
sebaliknya". Pertanyaan selanjutnya, kenapa harus yang baik? Kadang ada
saja mereka yang berfikiran aneh menurut saya. "Ah, jujur saya ini tidak
terlalu baik, jadi ya....cari yang sesuai ajalah, ngapain muluk-muluk
mau cari yang lurus banget". Astaghfirullah... Saudariku, resapilah ini:
#
Ketika sebelum menikah, segala tanggung jawab tentang baik buruknya
kita berada di tangan ayah dan saudara laki-laki kita. Tapi setelah
menikah, bersamaan dengan jabat tangan akad, semua tanggung jawab itu
mengalir kepada pundak suami kita. Maka apakah kita akan membiarkan
seseorang yang berakhlaq buruk menjadi penanggung dan panutan kita?
#
Ketika sebelum menikah, hormat dan bakti kita dalah pada ayah dan ibu
kita. Tapi setelah menikah, orang pertama yang wajib kita taati adalah
suami. Sebagaimana Rasulullah bersabda “Seandainya aku
boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku
akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR At Tirmidzi). Maka apakah kita akan membiarkan seseorang yang dzalim dan tak berilmu untuk kita taati?
Tentu
bagi yang menginginkan sebuah pernikahan sebagai jalan menuju syurga
Allah, tidak ingin sembarang dalam mengambil langkah. Ia pun tidak akan
sembarang menjadikan dirinya sebagai rusuk kiri seseorang. Karena kemana
ia berada, bergantung pada tubuh (suami) yang membawanya. Jadi,
masihkah kita enggan untuk memantaskan diri? Cukupkah kita dengan apa
adanya kita saat ini?
Ketahuilah
saudariku, sungguh nyamannya menjalani kehidupan ini apabila kita
senantiasa berada di dekat seseorang yang berilmu, penuh keteladanan,
mengerti tentang bagaimana memperlakukan kita sebagai wanita sesuai
dengan ajaran Islam dimana Islam sangat halus dan menghormati martabat
wanita. Selain itu, kita akan senantiasa terlindungi dari hal-hal haram
bahkan syubhat karena beliau sangat mengerti dan wara' terhadap hal-hal
demikian. Dan yang saya rasakan sendiri, adanya teladan baik di dekat
saya, membuat saya selalu iri dan malu, sehingga saya senantiasa ingin
memperbaiki diri untuk menjadi "pantas' baginya. Subhanallah...
Yuk semangat dan semoga bermanfaat ^^