Powered by Blogger.

Monday, April 24, 2017

Dua Sembilan Nol Tiga Tujuh Belas

0 komentar
Salam,,



MU'ADZ

Namanya diambil dari nama sahabat nabi Mu'adz bin Jabal RA, dalam kisahnya Mu'adz dikenal sebagai sahabat yang paling mengetahui tentang kitabullah dan sunnah RasulNya⁠⁠⁠⁠ .

Dari 'Abdullah bin 'Amr RA, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda: 'Ambillah Al Qur`an itu dari empat orang: Ibnu Mas'ud, Ubayy (bin Ka'ab), Mu'adz bin Jabal dan Salim maula Abu Hudzaifah.' " [HR. Bukhari No.4999]

Dari Anas RA, bahwa Nabi SAW bersabda: “Umatku yang paling penyayang kepada umatku adalah Abu Bakar, yang paling tegas dalam agama adalah Umar, yang paling tulus rasa malunya adalah Utsman, yang paling mengetahui tentang halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal.” [HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i dari Anas]

Dari Muhammad bin Ka'b al-Qurazhi, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya kedudukan Mu'adz bin Jabal berada didepan para ulama.' "

(Sumber: Buku Sahabat-Sahabat Rasulullah SAW, Karya Syaikh Mahmud Al Mishri)

 


Saturday, September 3, 2016

Berdamai dengan "full mom or half mom?"

0 komentar
Salam,,

Seneng ya, kalau kita akhirnya bisa berdamai dengan sesuatu yang pernah membuat kita galau menjalani hari-hari. Em....sejujurnya sudah lama saya memutuskan untuk tidak akan membahas masalah ini lagi. Tapi...entah kenapa baru sekarang mau di-share.



Ini mau ngebahas apaan sih? Hehe

Kegalauan lalu, saat berada di awal-awal melakoni peran sebagai ibu. Dan saya lihat masih banyak juga yang membahas tentang ini. Tentang "full mom or half mom? Berkarir di rumah atau di luar rumah?" Dan seterusnya dan seterusnya... Pasti buat beberapa orang ini basi banget! Iya, agak basi. Tapi menurut saya, ini nggak boleh basi buat kita yang menginginkan di kehidupan mendatang tidak akan ada lagi wanita-wanita galau semacam ini. Terkhusus, bagi anak-anak kita sendiri, mereka wajib ter-edukasi.

Singkat saja. Semakin kesini saya semakin sadar, kegalauan itu muncul karena terkadang saya lupa bahwa angka 6 bisa menjadi angka lain jika dilihat dari sisi yang berbeda. Kondisi yang ada pada saya saat itu, yang membuat saya galau akut, mungkin justru kondisi yang sedang didambakan orang lain di luar sana. Entah dari sisi yang mana. Dan saya lupa bahwa kondisi yang ada pada saya saat itu adalah kehendak Allah. Tapi menjadi galau tanpa usaha yang berarti, adalah hasil pilihan kita, dan itulah yang akan dinilai di dalam catatan kehidupan.

Maka di sanalah titik kedamaian muncul. Bahwa bisa jadi Allah meletakkan saya pada kondisi itu sebagai salah satu cara untuk menilai dan memberikan pelajaran. 

Dan pelajaran berharga yang saya peroleh adalah, hampir setiap posisi yang Allah berikan kepada kita itu unik. Maka jika diibaratkan angka 6, kondisi kita bisa terbaca berbeda-beda satu sama lain jika dilihat dr posisi masing-masing. Ada yg membaca dengan penafsiran sama, hampir sama, berbeda, atau berbeda jauh. Maka kecenderungan untuk memilih mana yang terbaik antara "full mom or half mom" pun akan berbeda bahkan hampir unik.

Maka apa yang sering disampaikan, "Berhentilah men-judge!" itu benar sekali. Karena kita tidak sedang berada pada posisinya. Dan lagi, itu tidak juga berguna bagi catatan penilaian hidup kita. 

Jadi kalau disuruh membuat kesimpulan, "full mom or half mom" adalah hitung-hitungan kita, bisa jadi pilihan atau bukan sama sekali. Tapi mengetahui keutamaan dan kewajiban wanita diciptakan adalah keharusan. 

Selamat berhitung....jangan lupa sertakan Allah dalam setiap keputusan. Insya Allah, damai...^^

Wednesday, August 24, 2016

Ngomongin Balita dan Gadget

0 komentar
Salam,,


Ini termasuk topik hangat yang sedang banyak dibahas di dunia parenting. Dan menurut saya, ini memang penting banget dibahas. Banyak sekali artikel dengan judul 'Bahaya Gadget Bagi Anak' berseliweran di media sosial.

Awalnya ketika Safanah masih berumur 1 tahunan, saya belum terlalu khawatir dengan ini. Waktu itu yang ada di pikiran saya cuma 'Ah, gampanglah nanti, tinggal disembunyiin aja. Nanti makin gede juga ngerti sendiri.'. Iya segampang itu dulu mikirnya.


Tapiii...setelah si anak beranjak melentik di usia 2 tahun-an, baru kerasa tantangannya. Dulu mikirnya semua bisa saja dihandle karena anak sendiri juga. Tapi ternyata, memang betul, tantangan orang tua jaman sekarang itu bukan cuma sebatas 'tahu teori dan tata cara'. Tantangan terbesar adalah 'Dunia Luar'. Kita bisa saja menerapkan berbagai teori, mengatur anak kapan boleh main gadget, jam berapa boleh nonton TV, dsb. Tapi si anak tidak mungkin juga dikungkung di rumah tanpa sosialisasi. Dan inilah...titik awal kegalauan terjadi. Kita semua sebagai orang tua pasti senang kalau anaknya bisa bersosialisasi dengan baik terhadap lingkungan sekitar. Belajar sharing mainan, ngobrol (walaupun kalau didengerin obrolannnya kita jadi cekikikan sendiri karena sok nyambung padahal benang ruwet, :D ), explore hal baru, dsb. Nah, nah, yang jadi masalah adalah, ketika di rumah kita bisa nyembunyiin gadget supaya si anak tidak kenal dulu, eh tiba-tiba anak tetangga dengan jumawa datang sambil pencet-pencet layar touch screen muter youtube. Alamak...masak iya saya mau serobot itu tab terus dilempar jauh-jauh? Bisa-bisa mamak bapaknya naik pitam. Dialihkan perhatian? Juara banget kalau langsung berhasil. Itu anak-anak kalau sudah lihat kartun dan segala macam benda bergerak di layar gadget, mata dan telinga jadi kayak gak berfungsi. Mantengiiin...terus. Huft...yaudah mamak ngalah dulu, sabar, nunggu sampai puas dikit, baru diajak pulang.

Itu baru tantangan pertama. Tantangan kedua dari monster bernama 'gadget' adalah, kita sendiri. Sudah tidak bisa dipungkiri kalau komunikasi manusia jaman sekarang semua lewat gadget. Tanpa si gadget ini, terbukti kita bisa ketinggalan info hampir 50% (perkiraan sendiri :p). Apalagi yang kedua orang tuanya sama-sama punya kesibukan di luar, mau tidak mau kalau sedang di rumah, itu HP harus stand by kalau-kalau ada yang menghubungi. Nah, momen ketika kita harus balas sms atau chat dan dilihat si anak yang pernah nonton temennya bisa muter kartun dengan alat serupa, itu momen paling drama. "Ummi, main hapeee..." , "Jangan sayang, ummi lagi bales sms", "Aiiiihhh...mau main hapeee...." , "Ngga boleh..." , "Main hape ummiii..." , "Ngga boleh nak..." , "Hiks, huaaaa..."

Tantangan ketiga, ketika di tempat umum. Dan ini bener-beneeerrr...menguras kesabaran. Misal lagi di warung makan, pesenannya belum datang juga. Tiba-tiba si anak muka bosen, terus mulai keluar suara, "Ngik, ummi, ngik" , "Kenapa safa?" , "Main hape" , "Eh, kan safa mau makan, ngga boleh main hp" , "Main hape ummiii..." , "Ngga boleh.." , "Abi, main hape" (ngadu ke abinya). Nah, di sini letak kekompakan orangtua sangat urgent. Pernah suatu hari karena abinya ga tahan lihat anaknya ngak ngik di warung, akhirnya suruh kasih. Dan......jurus baru pun dipelajari oleh si anak. Dia jadi semacam belajar, kalau di tempat umum, aku ngak ngik, nangis, bakalan boleh main hape sama abi. Benar saja, tiap ke warung makan atau tempat umum lainnya, dia suka merajuk bahkan tidak jarang sampai teriak-teriak mengundang perhatian orang. Dan bagian ini yang sering bikin orang tua ngga kuat, ngga enak sama orang sekitar, akhirnya dikasih. Menangggg....

Nah, solusinya gimana? Jujur kami masih berusaha keras dengan masalah gadget ini. Tapi, melalui banyak pelajaran berharga dan melihat dampak-dampak negatif yang terlihat nyata, saya dan abinya membuat beberapa kesepakatan. Ini cukup berat sebenarnya, karena butuh komitmen tinggi. Tak jarang saya juga sering khilaf. Tapi alhamdulillah...berangsur-angsur memberikan dampak positif. Kesepakatan apakah itu?

Awalnya kami membuat satu kesepakatan untuk menyembunyikan HP masing-masing. Harapannya kalau gak diperlihatkan, frekuensi merajuk juga berkurang. Berjalan beberapa minggu berjalan baik. Tapi ketika tidak sengaja si anak nemu HP, dia langung buka sendiri aplikasi, mulai dari pencet-pencet playstore sampai terdownloadlah game-game aneh. Lama-lama kami pun berpikir. Ini sepertinya bukan cara yang tepat karena justru anak akan makin penasaran.

Akhirnya kami mencoba membuat kesepakatan lain. Kami berfikir bahwa, pada dasarnya gadgdet adalah teknologi yang baik. Mau tidak mau si anak akan mengenalnya, entah dari dalam lingkungan keluarga atupun dari lingkungan luar. Dan kita tidak mungkin akan terus menyembunyikannya. Yang perlu kami lakukan adalah mengajarkannya untuk mulai bijak terhadap gadget.

Akhirnya, HP tidak disembunyikan, tetapi diletakkan sesuai tempatnya. Tapi tetap, frekuensi orang tua pegang hape ketika di rumah benar-benar harus diminimalisir. Pokonya pegang gadget kalau betul-betul perlu. Anak merajuk? Sudah pasti. Dan inilah saat-saat di mana drama selanjutnya dimulai. Awal-awal kami benar-benar harus sabar melihat si anak menangis tersedu-sedu minta main hape. Kami tahu pasti sakit sekali hatinya melihat barang yang disuka tergeletak bebas tapi dia ngga boleh menyentuhnya. Dan lagi, kekompakan orang tua jadi modal utama. Satu kali ada yang kalah, si anak semakin susah ditaklukkan. Sounding ke anak sangat penting. Saat si anak nangis, saat itu juga kita harus beri pengertian dalam-dalam, "Safa, safa kan masih kecil, belum boleh main hape. Nanti matanya sakit lho. Nanti kalau sudah besar kayak ummi, kayak abi, baru boleh... Itu boneka sama mainan safa banyak, kasihan tu ngga diajak main. Safa kan pinter..." Disounding dan disounding terus walaupun sambil kejer, harus kuat. Bahkan kadang harus tega.

Dan...setelah melalui beberapa episode drama, alhamdulillah si anak sekarang lebih mengerti. Mulai dari ketika melihat HP tergeletak dia hanya pegang-pegang, lihat ke arah kami, kami menggoyangkan jari tanda larangan, kemudian senyum dan pergi, akhirnya sekarang ketika melihat HP tergeletak di rumah, di alangsung bilang, "Ummi, anak kecil nda boleh main hape..." , "Iyaa..pinter safa masya Allah..." Kemudian kembali main sepeda. Dan kalau lihat ummi atau abinya pegang hape, si anak tidak lagi merengek seperti dulu. Sepertinya dia belajar, 'Percuma aku mau nangis gimana minta itu HP, abi sama ummi pasti ngga ngasih. Yaudah aku main sepeda lagi aja" hihi. Seneng...rasanya usaha kita memberi dampak positif. Dan konsekuensinya adalah, kita harus menyediakan banyak mainan lain yang tidak kalah serunya.

Namun, masih ada PR untuk kami, yaitu ketika berada di tempat umum. Kami masih kesulitan mengontrol si anak karena sampai sekarang dalam kepalanya masih tertanam pemikiran, 'Kalau di luar rumah, aku boleh main hp". Di satu sisi memang si gadget ini membantu saat kami perlu berbincang serius dengan orang lain. Tapi di sisi lain kami secara tidak langsung memberi jurus bagi si anak. Tapi setidaknya dia sudah tidak terlalu 'gandrung'. Kalaupun minta main, dia mulai cepat merasa bosen terus dikembalikan sendiri.

Huft...mudah-mudahan cara yang kami berikan tidak salah. Mudah-mudahan semakin besar si anak akan semakin bijak menggunakan teknologi. Dan semoga PR ini cepat teratasi. Semangat!^^