Powered by Blogger.

Wednesday, August 24, 2016

Ngomongin Balita dan Gadget

0 komentar
Salam,,


Ini termasuk topik hangat yang sedang banyak dibahas di dunia parenting. Dan menurut saya, ini memang penting banget dibahas. Banyak sekali artikel dengan judul 'Bahaya Gadget Bagi Anak' berseliweran di media sosial.

Awalnya ketika Safanah masih berumur 1 tahunan, saya belum terlalu khawatir dengan ini. Waktu itu yang ada di pikiran saya cuma 'Ah, gampanglah nanti, tinggal disembunyiin aja. Nanti makin gede juga ngerti sendiri.'. Iya segampang itu dulu mikirnya.


Tapiii...setelah si anak beranjak melentik di usia 2 tahun-an, baru kerasa tantangannya. Dulu mikirnya semua bisa saja dihandle karena anak sendiri juga. Tapi ternyata, memang betul, tantangan orang tua jaman sekarang itu bukan cuma sebatas 'tahu teori dan tata cara'. Tantangan terbesar adalah 'Dunia Luar'. Kita bisa saja menerapkan berbagai teori, mengatur anak kapan boleh main gadget, jam berapa boleh nonton TV, dsb. Tapi si anak tidak mungkin juga dikungkung di rumah tanpa sosialisasi. Dan inilah...titik awal kegalauan terjadi. Kita semua sebagai orang tua pasti senang kalau anaknya bisa bersosialisasi dengan baik terhadap lingkungan sekitar. Belajar sharing mainan, ngobrol (walaupun kalau didengerin obrolannnya kita jadi cekikikan sendiri karena sok nyambung padahal benang ruwet, :D ), explore hal baru, dsb. Nah, nah, yang jadi masalah adalah, ketika di rumah kita bisa nyembunyiin gadget supaya si anak tidak kenal dulu, eh tiba-tiba anak tetangga dengan jumawa datang sambil pencet-pencet layar touch screen muter youtube. Alamak...masak iya saya mau serobot itu tab terus dilempar jauh-jauh? Bisa-bisa mamak bapaknya naik pitam. Dialihkan perhatian? Juara banget kalau langsung berhasil. Itu anak-anak kalau sudah lihat kartun dan segala macam benda bergerak di layar gadget, mata dan telinga jadi kayak gak berfungsi. Mantengiiin...terus. Huft...yaudah mamak ngalah dulu, sabar, nunggu sampai puas dikit, baru diajak pulang.

Itu baru tantangan pertama. Tantangan kedua dari monster bernama 'gadget' adalah, kita sendiri. Sudah tidak bisa dipungkiri kalau komunikasi manusia jaman sekarang semua lewat gadget. Tanpa si gadget ini, terbukti kita bisa ketinggalan info hampir 50% (perkiraan sendiri :p). Apalagi yang kedua orang tuanya sama-sama punya kesibukan di luar, mau tidak mau kalau sedang di rumah, itu HP harus stand by kalau-kalau ada yang menghubungi. Nah, momen ketika kita harus balas sms atau chat dan dilihat si anak yang pernah nonton temennya bisa muter kartun dengan alat serupa, itu momen paling drama. "Ummi, main hapeee..." , "Jangan sayang, ummi lagi bales sms", "Aiiiihhh...mau main hapeee...." , "Ngga boleh..." , "Main hape ummiii..." , "Ngga boleh nak..." , "Hiks, huaaaa..."

Tantangan ketiga, ketika di tempat umum. Dan ini bener-beneeerrr...menguras kesabaran. Misal lagi di warung makan, pesenannya belum datang juga. Tiba-tiba si anak muka bosen, terus mulai keluar suara, "Ngik, ummi, ngik" , "Kenapa safa?" , "Main hape" , "Eh, kan safa mau makan, ngga boleh main hp" , "Main hape ummiii..." , "Ngga boleh.." , "Abi, main hape" (ngadu ke abinya). Nah, di sini letak kekompakan orangtua sangat urgent. Pernah suatu hari karena abinya ga tahan lihat anaknya ngak ngik di warung, akhirnya suruh kasih. Dan......jurus baru pun dipelajari oleh si anak. Dia jadi semacam belajar, kalau di tempat umum, aku ngak ngik, nangis, bakalan boleh main hape sama abi. Benar saja, tiap ke warung makan atau tempat umum lainnya, dia suka merajuk bahkan tidak jarang sampai teriak-teriak mengundang perhatian orang. Dan bagian ini yang sering bikin orang tua ngga kuat, ngga enak sama orang sekitar, akhirnya dikasih. Menangggg....

Nah, solusinya gimana? Jujur kami masih berusaha keras dengan masalah gadget ini. Tapi, melalui banyak pelajaran berharga dan melihat dampak-dampak negatif yang terlihat nyata, saya dan abinya membuat beberapa kesepakatan. Ini cukup berat sebenarnya, karena butuh komitmen tinggi. Tak jarang saya juga sering khilaf. Tapi alhamdulillah...berangsur-angsur memberikan dampak positif. Kesepakatan apakah itu?

Awalnya kami membuat satu kesepakatan untuk menyembunyikan HP masing-masing. Harapannya kalau gak diperlihatkan, frekuensi merajuk juga berkurang. Berjalan beberapa minggu berjalan baik. Tapi ketika tidak sengaja si anak nemu HP, dia langung buka sendiri aplikasi, mulai dari pencet-pencet playstore sampai terdownloadlah game-game aneh. Lama-lama kami pun berpikir. Ini sepertinya bukan cara yang tepat karena justru anak akan makin penasaran.

Akhirnya kami mencoba membuat kesepakatan lain. Kami berfikir bahwa, pada dasarnya gadgdet adalah teknologi yang baik. Mau tidak mau si anak akan mengenalnya, entah dari dalam lingkungan keluarga atupun dari lingkungan luar. Dan kita tidak mungkin akan terus menyembunyikannya. Yang perlu kami lakukan adalah mengajarkannya untuk mulai bijak terhadap gadget.

Akhirnya, HP tidak disembunyikan, tetapi diletakkan sesuai tempatnya. Tapi tetap, frekuensi orang tua pegang hape ketika di rumah benar-benar harus diminimalisir. Pokonya pegang gadget kalau betul-betul perlu. Anak merajuk? Sudah pasti. Dan inilah saat-saat di mana drama selanjutnya dimulai. Awal-awal kami benar-benar harus sabar melihat si anak menangis tersedu-sedu minta main hape. Kami tahu pasti sakit sekali hatinya melihat barang yang disuka tergeletak bebas tapi dia ngga boleh menyentuhnya. Dan lagi, kekompakan orang tua jadi modal utama. Satu kali ada yang kalah, si anak semakin susah ditaklukkan. Sounding ke anak sangat penting. Saat si anak nangis, saat itu juga kita harus beri pengertian dalam-dalam, "Safa, safa kan masih kecil, belum boleh main hape. Nanti matanya sakit lho. Nanti kalau sudah besar kayak ummi, kayak abi, baru boleh... Itu boneka sama mainan safa banyak, kasihan tu ngga diajak main. Safa kan pinter..." Disounding dan disounding terus walaupun sambil kejer, harus kuat. Bahkan kadang harus tega.

Dan...setelah melalui beberapa episode drama, alhamdulillah si anak sekarang lebih mengerti. Mulai dari ketika melihat HP tergeletak dia hanya pegang-pegang, lihat ke arah kami, kami menggoyangkan jari tanda larangan, kemudian senyum dan pergi, akhirnya sekarang ketika melihat HP tergeletak di rumah, di alangsung bilang, "Ummi, anak kecil nda boleh main hape..." , "Iyaa..pinter safa masya Allah..." Kemudian kembali main sepeda. Dan kalau lihat ummi atau abinya pegang hape, si anak tidak lagi merengek seperti dulu. Sepertinya dia belajar, 'Percuma aku mau nangis gimana minta itu HP, abi sama ummi pasti ngga ngasih. Yaudah aku main sepeda lagi aja" hihi. Seneng...rasanya usaha kita memberi dampak positif. Dan konsekuensinya adalah, kita harus menyediakan banyak mainan lain yang tidak kalah serunya.

Namun, masih ada PR untuk kami, yaitu ketika berada di tempat umum. Kami masih kesulitan mengontrol si anak karena sampai sekarang dalam kepalanya masih tertanam pemikiran, 'Kalau di luar rumah, aku boleh main hp". Di satu sisi memang si gadget ini membantu saat kami perlu berbincang serius dengan orang lain. Tapi di sisi lain kami secara tidak langsung memberi jurus bagi si anak. Tapi setidaknya dia sudah tidak terlalu 'gandrung'. Kalaupun minta main, dia mulai cepat merasa bosen terus dikembalikan sendiri.

Huft...mudah-mudahan cara yang kami berikan tidak salah. Mudah-mudahan semakin besar si anak akan semakin bijak menggunakan teknologi. Dan semoga PR ini cepat teratasi. Semangat!^^

Wednesday, August 17, 2016

Malam-malam Berharga

0 komentar
Salam,,

Enam puluh menit berlalu sejak mereka memejamkan mata. Wajah-wajah lelah yang bahagia tergambar pada garis-garis alis hingga dagu. Alhamdulillah yaa Allah…atas nikmat hari ini. Nikmat iman, sehat, waktu, dan segala hal yang terjadi hari ini, sebagai lembaran-lembaran materi pelajaran untuk melangkah ke hari esok. 

Lalu, waktunya saya untuk kembali beranjak. Iya, inilah salah satu waktu yang masuk dalam daftar kegiatan sehari-hari. Ketika suami telah terlelap dalam lelah setelah seharian berjibaku dengan bermacam kegiatan yang ditutup dengan menemani Safanah lomba lari, main sepeda, menyusun puzzle, sampai harus memutar otak menyusun cerita dongeng baru. Lalu akhirnya si anak memutuskan untuk, “Bobok Abi, bobok ummi”, dan dalam waktu kurang dari 30 menit setelah berdoa, mereka terpejam. Saya sengaja menjaga mata supaya tetap terjaga, walaupun tidak jarang juga saya keterusan ikut terlelap. Dan ini bikin sediiihhh banget saat terbangun. Rasanya saya telah melewatkan satu kesempatan berharga. Segitu berharganya kah? Iya. Banget. Atas kehendak Allah, saya diberikan beberapa amanah di siang hari yang membuat saya merasa “kekurangan waktu” untuk sekedar membuka group whatsapp (maaf teman-teman kalau saya sering slow respon, hiks), membaca saved post di facebook, update followed blog, tidak memubadzirkan buku-buku yang kalap dipesan, dan termasuk untuk online shopping, hihi. Pokoknya waktu seperti ini saya jadikan moment untuk meng-upgrade informasi. Karena ternyata jadi istri dan ibu, ilmu yang dibutuhkan lebih kompleks. Termasuk di dalamnya ilmu mengelola diri. Makanya kalau ketiduran, nyeselnya lumayaaan juga. :D

Dan malam ini, malam tanggal 17 Agustus, saya seneng banget masih bisa terjaga. Mumpung besok juga libur (pssssttt…besok tidak ada jadwal ikut upacara),jadi saya bisa puas mau sampai jam berapa tanpa khawatir kesiangan masak. Sejak jadi mamak-mamak, saya berfikiran bahwa kalau tetap ingin memperkaya informasi, waktu istirahatlah yang harus kita ikhlaskan. Susah kalau mau selalu nurutin prinsip ‘Istirahat yang cukup’ karena waktu untuk ‘amanah-amanah’ di siang hari tetap harus 100% dan tidak sepatutnya disambi-sambi. Sementara memberikan 100% buat semua itu perlu banyak belajar supaya lebih terarah. Namanya juga masih belajar…semoga Allah meridhoi, senantiasa mudahkan jalan dan berikan kesehatan.

Nah, nah, pertanyaannya sekarang, kok tiba-tiba update blog?

Sejujurnya, setiap menjalani malam-malam seperti ini, saya tak jarang menulis apapun yang ingin saya tulis, namun hanya berakhir sebagai draft. Entah sejak kapan saya merasa semakin tidak percaya diri untuk membagi apa-apa yang saya tuangkan dalam tulisan yang gamblang. Apalagi tentang kehidupan saya. Saya lebih percaya diri ketika membagi apa yang saya ambil dalam bentuk foto di instagram, karena dalam pikiran saya, foto hanyalah sekedar foto. Dan Instagram hanyalah tempat menyimpan kumpulan kekaguman hasil tangkap visual mata dari ciptaan Allah. Sedangkan tulisan, range makna akan semakin sempit karena tulisan adalah bagian penting dari definisi. Dan di sanalah saya berfikir, kemungkinan kesalahan mendefinisikan kejadian semakin besar. Tapi yang paling membuat saya tidak percaya diri adalah, bahwa saya merasa pengalaman hidup yang saya alami tidak seberapa dibandingkan mereka yang diuji dengan berbagai ujian ketegaran yang luar biasa. Apalagi untuk mengeluh, setiap mendapati postingan video keadaan saudara kita di palestina, suriah ataupun di seluruh belahan dunia, semakin merasa apalah hak saya untuk mengeluh. Ditambah lagi wanti-wanti dari suami bahwa yang namanya perempuan dan medsos itu cukup membahayakan. Salah-salah bisa kebablasan curhat macam-macam masalah rumah tangga. Dan saya…..masih cukup berusaha keras di bagian ini. ^^v

Hingga akhirnya…semakin saya membaca tulisan-tulisan inspiratif dari mereka yang luar biasa, saya jadi punya pandangan baru. Jikalau semua orang punya pikiran yang sama seperti saya, yaitu merasa tidak pantas, maka tidak akan ada tulisan inspiratif, dan tidak akan pernah ada orang seperti saya pula yang belajar dari tulisan orang lain. Bagaimana kita bisa belajar kalau tidak ada yang berbagi? Bagaimana kita bisa tahu kalau tidak ada yang memberi tahu? Ya, akhirnya saya mendapatkan satu titik kesepakatan diri bahwa tidak ada salahnya membagi apa yang kita alami karena kita tidak pernah tahu se-tidak bermanfaat apakah tulisan kita. Bisa jadi dari sekedar tulisan abal-abal semacam ini ternyata bisa membuat orang lain juga ingin menulis untuk membetulkan tulisan ataupun pandangan kita yang kurang tepat. Ya, kita tidak pernah tahu… Yang harus tetap dijaga adalah saya tidak boleh melupakan kebermanfaatan dari apa yang akan saya tulis. Jangan sampai kepleset dari wanti-wanti yang sudah disampaikan suami. Jangan sampai hanya berisi keluhan tanpa hikmah. Jangan sampai dari tulisan saya justru menimbulkan energi negatif bagi yang membaca. Jangan, jangan sampai ya Allah….. :’(

Dan akhirnya, saya berharap masih bisa menjalani malam-malam seperti ini. Bermesra dengan hal-hal baru yang bermanfaat, kepo tulisan serta perangai orang-orang inspiratif pilihan Allah, dan semoga masih bisa terus diberi kesempatan untuk berbagi, semoga bisa bermanfaat, semoga bisa terus belajar dari mereka yang luar biasa, dan semoga Allah meridhoi…aamiin.

Kita adalah para wanita yang di pundak ini terdapat amanah besar peradaban. Kita adalah para wanita yang diletakkan tanggung jawab akan generasi cemerlang masa depan. Dan tidak ada peradaban cemerlang tanpa teladan dari wanita-wanita yang taat...

Nikmat itu bernama 'Kesempatan'