Powered by Blogger.

Saturday, August 24, 2013

Dear My Sisters, Sebelum Engkau Menjadi Rusuk Kirinya

Salam,,


Alhamdulillah...alhamdulillah...alhamdulillah....
Yuk sebelum dimulai, jangan pernah berhenti mengiringi segala aktivitas kita dengan senantiasa bersyukur dan memuji asma Allah. Walaupun hanya sebatas lisan, satu kalimat syukur bisa memancarkan efek positif lho, buat hari kita...^^

Mmmm...tentang topik kali ini, jujur saja disponsori oleh segala pengalaman dan sepak terjang saya sebagai 'tulang rusuk' seseorang terhitung sejak tanggal 5 Januari 2013 lalu. Bisa dibilang masih sangat mudaaa banget usia kebersamaan ini. Tapi biarpun baru seumur jagung, saya merasa sudah banyak sekali pelajaran dan hikmah yang saya dapat, khususnya dari sudut pandang sebagai wanita.

Wahai saudariku, bagi seorang muslimah, menikah ibarat separuh dari titian jembatan hidup yang kita lalui dan sangat berbeda dengan titian sebelumnya. Jika sebelumnya jembatan yang kita lalui hanyalah papan-papan kayu yang tersusun di atas tali dimana keseimbangan dan keselamatan benar-benar bergantung seutuhnya pada langkah yang kita ambil, maka menikah adalah sisa titian jembatan yang di kanan kirinya tersusun pegangan kokoh untuk memudahkan langkah, lalu di atasnya dilengkapi dengan anyaman daun untuk melindungi dari segala gangguan panas dan hujan. Masya Allah...begitulah yang saya rasakan semenjak memasuki kehidupan baru ini. Nyaman dan teduh...


Bagi seorang wanita, menikah merupakan sebuah perlindungan karena menjauhkan diri dari segala fitnah. Dan yang lebih indah dari sebuah pernikahan bagi kita, bahwa dari sanalah mulai dibukanya pintu pahala sebesar-besarnya bagi wanita ketika ia bisa memenuhi kewajiban sebagai istri dan ibu sesuai dengan ajaran Islam. Hal-hal sederhana seperti memasak dan merapikan rumah pun bisa dicatat sebagai pahala jihad ketika kita menjadi seorang istri. Apalagi ketika dengan senang hati memijat suami saat beliau lelah dan menjaga diri serta kehormatan saat suami tak ada di rumah, semua keutamaannya tersurat jelas dalam hadist-hadist. Subhanallah...jadi siapakah yang tak ingin segera menggenapkan separuh dien ini?

Ups, tapi pelan-pelan saudariku, sesuatu yang terburu-buru juga kurang baik. Bagi kita terutama sebagai wanita, ada beberapa hal yang perlu dimatangkan sebelum memutuskan untuk melangkah ke jembatan ini. Pertama, sudah jelas dan telah banyak dibahas, ilmu adalah modal utama bagi seorang muslimah sebelum menikah. Sebagaimana yang pernah saya sampaikan lewat media sosial, bahwa tidak ada alasan sama sekali bagi seorang wanita untuk tidak menuntut ilmu. Memang, seutama-utamanya wanita adalah berada di rumah, tapi bukan berarti ia mengabaikan pendidikannya. Justru malah di sanalah seorang wanita membutuhkan bekal yang lengkap ketika ia terjun seutuhnya sebagai ibu rumah tangga. Ilmu agama, ilmu tentang pernikahan, ilmu tentang menjadi istri sholihah, ilmu mengelola keuangan rumah tangga, ilmu merawat dan mendidik anak, ilmu tentang memasak, menata rumah, dan maaasih banyak lagi ilmu-ilmu yang diperlukan. Berbeda ketika ia memilih menjadi wanita karier. Bisa jadi ia jenius luar biasa dalam bidang akuntansi, tapi ilmu tentang menata rumah, memasak, merawat anak dengan baik, semuanya diserahkan pada asisten rumah tangga. Jadi sebenarnya, siapakah yang lebih berilmu??


Yang kedua, yaitu tentang kepantasan diri. Kenapa perlu memantaskan diri? "Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, begitupun sebaliknya". Pertanyaan selanjutnya, kenapa harus yang baik? Kadang ada saja mereka yang berfikiran aneh menurut saya. "Ah, jujur saya ini tidak terlalu baik, jadi ya....cari yang sesuai ajalah, ngapain muluk-muluk mau cari yang lurus banget". Astaghfirullah... Saudariku, resapilah ini:

# Ketika sebelum menikah, segala tanggung jawab tentang baik buruknya kita berada di tangan ayah dan saudara laki-laki kita. Tapi setelah menikah, bersamaan dengan jabat tangan akad, semua tanggung jawab itu mengalir kepada pundak suami kita. Maka apakah kita akan membiarkan seseorang yang berakhlaq buruk menjadi penanggung dan panutan kita?

# Ketika sebelum menikah, hormat dan bakti kita dalah pada ayah dan ibu kita. Tapi setelah menikah, orang pertama yang wajib kita taati adalah suami. Sebagaimana Rasulullah bersabda “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR At Tirmidzi). Maka apakah kita akan membiarkan seseorang yang dzalim dan tak berilmu untuk kita taati?

Tentu bagi yang menginginkan sebuah pernikahan sebagai jalan menuju syurga Allah, tidak ingin sembarang dalam mengambil langkah. Ia pun tidak akan sembarang menjadikan dirinya sebagai rusuk kiri seseorang. Karena kemana ia berada, bergantung pada tubuh (suami) yang membawanya. Jadi, masihkah kita enggan untuk memantaskan diri? Cukupkah kita dengan apa adanya kita saat ini?

Ketahuilah saudariku, sungguh nyamannya menjalani kehidupan ini apabila kita senantiasa berada di dekat seseorang yang berilmu, penuh keteladanan, mengerti tentang bagaimana memperlakukan kita sebagai wanita sesuai dengan ajaran Islam dimana Islam sangat halus dan menghormati martabat wanita. Selain itu, kita akan senantiasa terlindungi dari hal-hal haram bahkan syubhat karena beliau sangat mengerti dan wara' terhadap hal-hal demikian. Dan yang saya rasakan sendiri, adanya teladan baik di dekat saya, membuat saya selalu iri dan malu, sehingga saya senantiasa ingin memperbaiki diri untuk menjadi "pantas' baginya. Subhanallah...

Yuk semangat dan semoga bermanfaat ^^

0 komentar:

Post a Comment